SELEMBAR DAUN TEH
Pagi ini begitu dingin dan berkabut, hanya ada matahari yang tertutup oleh awan mendung dan hujan rintik rintik. Gemanya begitu meriah, seperti bunyi tetesan air di keran dapur, tapi lebih meriah. Aku membuka jendela dan dan disambut oleh bau tanah yang tersiram air hujan yang begitu khas, menenangkan pikiran, mengalahkan aroma-aroma terapi yang biasa dijual di gerai gerai toko. Karena begitu dingin, aku mengambil satu cangkir putih dengan lukisan bunga di tepinya dengan pinggiran mulut cangkir bewarna emas, klasik dan indah. Cangkir yang terbiasa muncul kalau menghidangkan teh di depan tamu, tapi, ya memanjakan diri sendiri sesekali ada baiknya kan.
Sambil menaruh cangkir di meja kayu yang ada di dekat jendela dapur, aku melihat beberapa toples berisi teh celup, bubuk kopi dan daun teh tubruk. Akhirnya aku mengambil toples daun tubruk yang berisi daun teh dengan bunga melati yang dikeringkan. Memang sih, lebih mudah dan praktis membuat teh celup, tinggal taruh dan masukkan air termos dan selesai. Tapi teh tubruk melati yang disiram air yang baru dijerang, lalu didiamkan sejenak dan disaring memiliki cita rasa yang berbeda, tidak terlalu bewarna gelap, rasanya khas dan wanginya sangat harum. Setelah menyaring teh, aku menambahkan sedikit madu sambil memandang keluar melalui jendela dapur yang menghadap ke arah pohon pohon pinus yang berubah warna keabuan basah oleh hujan dan tertutup kabut. Sambil menyeruput secangkir teh melati madu yang panas dan manis aku menikmati pagi yang cerah ini. Harum melati yang khas membuatku terdiam sejenak, melamun dan pikiranku menari di udara , terlintas sekelebat ingatan di musim hujan beberapa tahun yang lalu...
Pagi yang dingin, matahari bahkan belum muncul di timur, hanya si bintang fajar yang masih muncul di langit yang luas. Aku dan teman temanku duduk di bawah pohon beringin, di depan gedung humaniora. Kami diam mendengarkan arahan dosen terkait tempat kami akan berkunjung dan menghabiskan tiga hari dua malam untuk melakukan tugas akhir bermasyarakat. Kami hanya boleh membawa 1 ransel yang berisi obat, pakaian secukupnya dan buku catatan. Kami tidk diijinkan membawa makanan instan atau kopi dan teh. Sambil mendengarkan dosen, kami diam sambil merasa cemas, seminggu sebelumnya beberapa teman meledek soal kegiatan yang aku dan temanku ambil.
“ Hati hati, itu kayak acara TV ‘Andai Aku Menjadi’, apa kalian yakin kalian sanggup bertahan disana?” sambil tertawa, atau pertanyaan pertanyaan “ Kalian ikut kegiatan gladi sosial? Kenapa tidak ambil gladi spiritual atau gladi gladi lainnya sih? itu gladi sosial ntar kalian menderita lho pas hidup susah disana.” Tapi satu ucapan salah satu dosen kami yang mengatakan
“ Banyak gladi lainnya yang menarik dan hanya memakan waktu satu hari, tapi gladi sosial ini adalah kegiatan yang tidak akan kalian lupakan seumur hidup kalian.“
Dan itulah alasan aku, Ida, Nia, Tita,Regina ikut kegiatan ini.
Akhirnya setelah mendengar pidato dan kata kata pembukaan kegiatan dari dosen, kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Aku berkelompok dengan beberapa mahasiswa jurusan lain yaitu Nadya, Rivo, Doni dan Michael. Kurang lebih ada sekitar 50 mahasiswa yang ikut acara ini dan 1 kelompok terdiri dari 5 orang. Kampus menyediakan 10 mobil sewaan bewarna warni untuk mengantarkan kami ke tempat gladi sosial. Dengan ditemani satu orang supir, kami berangkat dengan perasaan yang agak khawatir. Karena aku dan teman-teman berusaha tidak mencari tahu latar belakang kegiatan ini, tidak berusaha mencari petunjuk ataupun foto foto kegiatan ini sebelumnya, kami hanya berusaha percaya dosen kami dan memenuhi tugas untuk nilai akhir mata kuliah humaniora ini. Akhirnya sambil agak kaku, aku dan teman sekelompok yang baru saling mengenal memulai percakapan, untunglah kami sama sama supel, jadi perjalanan ini penuh dengan canda dan tawa, walau kami sempat ketakutan karena supir kami sesekali beradu kecepatan dengan mobil sewaan teman-teman kami yang lainnya. Setelah perjalanan cukup panjang akhirnya kami memasuki daerah perbukitan dan perkebunan teh. Banyak anak anak kecil yang berdiri dipinggir jalan sambil melambai tangan ke arah konvoi mobil kami, teman sekelompokku pun bercanda.
“ Wah, kita di dadah dahain kayak anak pejabat aja.”
Lalu aku menyeletuk “Apa di daerah sini jarang mobil datang ya, kok mereka kayak aneh dan excited gitu lihat mobil mobil kita.”
Nadya pun bilang “ Iya aneh ya, sepi lagi jalannya”
Kami pikir perjalanan sudah berakhir, ternyata sejam kemudian mobil masih terus berjalan sampai ke arah perbukitan yang berbatu -batu terjal dan sepi. Akhirnya mobil berhenti di dekat perkebunan teh yang cukup sepi. Beberapa dosen terlihat turun dari mobil, akhirnya kami pun ikut turun sambil agak mual karena supir kami membawa mobil dengan kecepatan yang kurang stabil. Setelah turun, dosen kami memberi kode pada supir-supir dan mobil-mobil sewaan kampus kami yang bewarna warni pun pergi. Aku dan teman-temanku cukup terkejut, lalu salah satu anak berkata,
“Pak, kok mobilnya pada pergi, nanti kalau kami mau kmana –mana gimana?’
Dosenku berkata, ‘Kamu pikir kamu hidup di kota, ya kalau ada perlu cukup jalan kaki lah...”
Dengan masih bertanya-tanya, kami pun berjalan kaki sedikit ke arah desa, dan desa itu cukup sepi.
Kami disambut kepala desa, lalu dosen kami mengajak kami ke masjid untuk pengarahan selanjutnya. Aku berkumpul kembali bersama sama sahabatku Nia, Tita, Ida, Mei dan Regina. Kemudian dosen membagi kelompok baru yang berisi dua sampai tiga orang. Aku sekelompok dengan Nadya, Ida sekelompok dengan Nita dan Tita, Sementara Mei dengan Nia dan Ida. Perwakilan kelompok masing-masing mengambil undian untuk menentukan pekerjaan kita selama di desa.
Nadya menyuruhku mengambil undian, dan kami berdua mendapat tugas “ Memetik Teh” dan teman-teman yang lain meneriaki kami karena iri, sementara yang lain bertepuk tangan.
“Wah kalian daper kerjaan yang asik sekali, tidak perlu membersihkan kotoran sapi”, celetuk temanku
Aku dan Nadya senang sekali, kami pikir kami dapat pekerjaan yang paling ringan dan tidak terlalu beresiko, jadi kami puas dengan hasil undian pekerjaan. Kelompok yang lain pun mulai menarik undian, ada yang mendapat pekerjaan untuk “Beternak Sapi”, “Beternak ikan” , “Mengawasi lahan” dan lain lain.
Akhirnya menjelang petang, masing masing kelompok dibawa oleh ayah angkat masing masing. Aku dan Nadya sangat senang bisa mendapat tugas memetik teh, jadi sore ini kami bisa beristirahat di rumah orang tua angkat kami dan besok baru melakukan pekerjaan kami. Ketika berjalan kaki ke rumah Bapak pemetik teh, ternyata rumahnya cukup jauh dari balai desa, sekitar 10 menit berjalan kaki. Rumah orang tua angkat kami (Bapak dan Ibu pemetik teh) begitu sederhana, terbuat dari kayu dengan lantai gelap bewarna pudar dan terasa dingin. Kami berkenalan dengan Ibu, lalu pada malam hari dosen kami datang untuk mengecek keadaan kami sebentar.
Pada malam hari kami makan tahu dan nasi dingin, karena untuk memasak nasi baru kami harus membakar kayu, memakai tiupan suluh kayu dan menanaknya sendiri, sementara Bapak sedang di luar rumah dan Ibu sedang kurang enak badan. Nasi, tahu dingin dan kecap manis ditemani segelas teh tawar (Rasanya ingin membuat indomie kuah karena suhu sangat dingin, tapi karena kami tidak diperbolehkan membawa makanan instan, sementara warung letaknya dekat dengan balai desa dan masjid, jadi kami tidak punya pilihan lain). Jam 7 malam Bapak pulang dari balai desa, dia menyalan DVD (wah?) dan menyuruh kami nonton film “Harry Potter” sambil mengobrol dengan kami. Sebelum tidur, aku dan Nadya berniat untuk mandi. Tapi ternyata kamar mandi terletak di luar rumah, bersebelahan dengan empang yang berisi ikan-ikan dengan bunyi kodok dan jangkrik. Aku dan Nadya takut melihatnya, jadi kami bergantian masuk kebilik kamar mandi untuk cuci muka dan menyikat gigi. (kami tidak jadi mandi karena bilik kamar mandi begitu gelap dan suhu airnya sangat dingin sekali).
Setelah membersihkan diri, kami tidur di lantai dengan beralaskan tikar dan dibalut selimut yang cukup tebal, walau menurutku, tetap saja dingin. Sebelum tidur kami memasang alarm jam 4.30 pagi, lalu berbincang sebentar dan jatuh tertidur.
Keesokan harinya, kami bangun subuh mencuci muka, menyikat gigi dan minum teh hangat. Setelah itu kami memakai jaket, kupluk dan memasang sarung tangan dan keranjang untuk menaruh teh di punggung kami.
Suhu Pangalengan sangat dingin, sekitar 15 derajat, dan kami berjalan menaiki bukit untuk sampai di perkebunan teh. Bapak sudah pergi duluan, jadi aku, Nadya dan Ibu pergi bersama dan Ibu menyuruh kami pisah dengannya supaya kami memetik teh di dataran yang lebih rendah. Aku dan Nadya agak takut, karena perkebunan teh sepi sekali saat itu. Kabut menyelimuti hijaunya dedaunan, dan kalau kami bernapas, keluar uap dari mulut kami saking dinginnya. Hidung rasanya sakit, kuping terasa dingin seperti beku. Apalagi angin dingin terus berembus menerpa ujung-ujung daun yang tertutup embun hujan semalam. Kami mulai memetik teh, pucuk daun teh untuk teh berkualitas baik, dan daun teh untuk teh berkualitas biasa.
Aku dan Nadya sudah sangat semangat, karena keranjang kami sama-sama penuh walau daun tehnya tidak kami padatkan lagi, jadi sebenarnya keranjang kami masih muat untuk beberapa kilo daun teh lagi. Dan kalian tahu tidak harga 1 kilo teh saat itu? 500 Rupiah, tidak kurang tidak lebih. Aku dan Nadya masing-masing memetik 4,5 kilo daun teh, jadi kami masing-masing dapat 2.500 Rupiah , sementara teman kami yang laki-laki mendapat 10.000 Rupiah karena masing-masing keranjang mereka berisikan 10 kilo daun teh. Bayangkan, kami bangun subuh-subuh dengan sarapan teh tawar hangat sekedarnya dan makan tahu dingin, lalu jalan pagi-pagi, memetik teh beberapa jam di tengah kabut dan tiupan angin dingin, kaki terasa pegal dan tangan terasa beku karena basahan embun, nyaris menginjak ular untuk mendapatkan bayaran itu. Aku dan teman-temanku, sangat tidak menyangka, betapa waktu, tenaga dan kesabaran berharga 500 Rupiah, padahal aku dan Nadya, terutama teman-teman cowok yang lain sudah sangat kelelahan dengan proses naik turun bukit. Setelah menimbang, uang kami serahkan pada orang tua angkat, sebagian dari uang itu mereka berikan kepada kami untuk jajan.
Karena kami sudah menjalankan pekerjaan kami di pagi hari dan membantu Ibu di siang hari Siang hari kami pun makan dengan nasi, tahu dan kecap, setelah itu kami mandi. Ketika mandi di bilik rasanya unik sekali. Airnya dingin dari pancuran bambu, lalu ibu ayam dan anak-anak ayam berseliweran dari bawah bilik. Antara lucu dan mengerikan, jadi ketika mandi kita harus cepat sambil mengusir ayam-ayam itu. Airnya tetap dingin di siang hari, dan karena bagian bawah bilik terbuka, jadi angin masuk dari bawah dan bagian atas bilik. Setelah mandi maka sore harinya kami boleh jalan-jalan keliling desa.
Rasanya aneh sekali, desa itu begitu kecil, dengan beberapa rumah sederhana, dan yang lucu adalah kami menjumpai semua teman kampus kami di rumah-rumah sekitar masjid. Ada yang sedang membersihkan kotoran sapi sambil tertawa-tawa menyapa kami, ada yang memandikan sapi dengan sabar, memerah susu sambil ketakutan dan ada yang nongkrong di mesjid sambil mencari kesempatan berkenalan dengan bunga-bunga desa, ada yang baru pulang dari mencari ikan dan mengumpulkan rumput untuk memberi makan sapi.
Akhirnya aku dan Nadya ke warung dekat balai desa untuk membeli cemilan kerupuk dan kue seharga 1000 rupiah. Walaupun kami tidak tahu dan tidak pernah mendengar merk cemilan itu, tapi kami sangat menikmati rasanya. Kami juga menjumpai teman-teman kami yang lain sambil ngobrol. Sebelum maghrib, kami sudah harus pulang (karena di desa semua anak, terutama wanita, tidak boleh berkeliaran di malam hari).
Di malam harinya, kami bersiap untuk makan malam. Tiba-tiba pintu kami diketuk, Bapak membuka pintu. Ternyata Rivo dan Doni datang membawa susu sapi hasil mereka bekerja di siang hari. (Padahal aturan dari dosen kampus, antara mahasiswa dan mahasiswi tidak boleh saling berkunjung ke rumah orang tua angkat masing-masing). Tapi karena ada Ibu dan Bapak, akhirnya mereka dipersilahkan masuk.
Kami menghidangkan tahu dan tempe dan teh untuk Rivo dan Doni. Bapak mengajak mereka mengobrol sementara aku, Ibu dan Nadya menyalakan api untuk memasak susu sapi. Setelah matang kami minum bersama-sama, walau kami menghemat sehingga tidak memakai gula, tapi rasa susu murni dari sapi yang baru diperah benar-benar enak dan segar, apalagi ketika diminum panas-panas di malam yang dingin. Saat kami mengobrol dan menceritakan pengalaman bekerja hari ini, tiba-tiba pintu diketuk lagi. Bapak bertanya, “Siapa lagi ya, apa teman kalian? Bapak tidak sedang menunggu tamu.”
Ketika pintu terbuka, masuklah dosen kami. Aku, Nadya, Rivo dan Doni terdiam kebingungan, berusaha mencari-cari alasan. Untunglah dosen kami hanya menegur sambil bercanda. Pak dosen pun ikut duduk bersila dekat kami, lalu berbicara kepada orang tua angkat kami, “ Pak, Bu, terimakasih sudah mau menerima anak-anak kami untuk menginap dan bekerja untuk laporan tugas mereka, maaf kalau anak-anak menyusahkan atau banyak pertanyaan.” Lalu kedua dosen kami memberi amplop berisi ucapan terimakasih kepada kedua orang tua angkat kami. Bapak Ibu ikut membagikan susu panas yang tadi dimasak, lalu dosen kami pamit dan berkata, “Rivo, Doni, kalian juga sini pamit. Sudah malam masih juga singgah ke rumah cewek.” Rivo dan Doni pun buru-buru pamit sambil salah tingkah. Setelah tamu-tamu kami pulang, aku dan Nadya cuci muka, sikat gigi lalu tidur dengan beralaskan tikar.
Keesokan harinya, kami akan mengambil teh pada jam 8 pagi. Tapi aku tidak bisa bangun karena badanku kaku karena kedinginan, perut juga kram karena tidur di atas lantai yang dingin. Karena kuatir Bapak memanggil tukang pijit desa, akhirnya setelah diobati dan baikan, aku dan Nadya menyusul Ibu ke kebun teh. Kami memetik daun teh biasa, karena pucuk-pucuk sudah diambil oleh pemetik teh pagi-pagi sekali. Jam 8 matahari begitu terik, aku dan Nadya memetik teh sambil memakai topi. Sesekali mencari teh di dataran yang cukup tinggi sehingga kami bisa mendapat sinyal dan menghubungi orang tua kandung kami.
Tidak berapa lama muncul mandor muda yang memberikan kami dua bungkus lotek, kemarin dia berkenalan dengan Nadya di balai desa. Walaupun tidak jelas maksudnya apa, ya kami menerima lotek itu dengan senang hati, apalagi nanti sore kami sudah akan kembali ke bandung, jadi kami pikir tidak masalah. Saat melanjutkan memetik teh, muncul 3 sahabatku yaitu Ida, Nia dan Tita. Mereka memiliki orang tua angkat mandor perkebunan, jadi mereka berkeliling dengan... untuk mengecek keadaan kebun sambil melambaikan tangan kepada kami.
Akhirnya kami selesai memetik teh, dan ke tempat penimbangan daun teh. DI sana kami berjumpa lagi dengan teman-teman lain yang menimbang teh, dan 2 teman kami yang cowok yang baru mengambil rumput untuk sapi. Bapak angkat mereka memuji mereka depan kami, “ Aduh kalian berdua jangan pulang, Bapak senang dengan kerjaan kalian, kalian rajin dan bangun pagi. Pekerjaan Bapak jadi terasa ringan dan sapi jadi banyak makan. “
Salah satu dari teman kami berkata, “ Iya, Pak. Kami juga masih ingin tinggal disini, tapi orang tua kami sudah menunggu di Bandung Pak, hehehe...” Kami hanya geli saja mendengar alasan teman kami, sehabis menimbang aku, Nadya dan Ibu pulang ke rumah. Makan siang, mandi dan membereskan barang-barang kami. Bapak dan Ibu sedih sekali saat membantu membantu membereskan barang-barang kami.
Kira-kira pukul 2 kami pamit kepada Bapak dan Ibu, lalu dengan ransel kami berkumpul di masjid untuk evaluasi dan persiapan pulang ke bandung. Di masjid aku berkumpul lagi sama sahabat-sahabatku, mereka ternyata ada juga yang dapat kamar dan tempat tidur untuk menginap, bahkan karena bapak angkatnya mandor mereka dimasakkan ikan hasil panen oleh ibu angkat mereka. Sementara ada yang mengeluh karena capek membersihkan kotoran sapi setiap malam, ada juga yang curhat dia dikejar-kejar bunga desa untuk berkenalan. Setiap kelompok yang berisi 2 sampai 3 orang disuruh menunjuk perwakilannya oleh dosen, lalu perwakilannya bisa menceritakan suka duka pengalaman bekerja di desa dan kami mengevaluasi bersama dan memberi komentar. Bahkan persoalan tukang pijit desa yang datang ke rumah orang tua angkatku untuk mengobati aku yang keram sampai juga ke telinga dosen-dosen dan teman-teman yang lain, rasanya malu sekali. Setelah selesai evaluasi, aku, Nadya dan sahabat-sahabatku mengambil foto dekat balai desa. Lalu sempat kembali ke warung utuk membeli jajanan.
Lalu Dosen-dosen kami permisi sekali lagi ke kepala desa karena mobil-mobil sewaan sudah datang untuk menjemput kami. Krena perjalanan pulang boleh dalam kelompok bebas, maka aku semobil dengan Tita, Ida, Nia dan Regina, sementara Nadya juga semobil dengan sahabat-sahabatnya. Ketika mobil mulai berjalan, kami terdiam sambil menikmati keindahan perbukitan dan perkebunan teh. Rasanya waktu tiga hari dua malam yang kami lewati berjalan dengan sekejap seperti mimpi. Setelah satu jam diam, akhirnya Nia berkata “Lain kali mungkin baiknya kita mendatangi tempat itu lagi ya, mengunjungi orang tua angkat kita”. Sementara yang lain mengiyakan. Semakin dekat ke pusat kota pangalengan kami mampir sejanak ke warung untuk membeli keripik susu dan permen karamel untuk keluarga di rumah.
Kami masing-masing merindukan tempat tidur, air hangat di kamar mandi rumah dan kost-an kami. Sementara kami mulai tertidur dalam perjalanan ke kampus, rasanya badan sangat lelah, tetapi apa yang kami alami dalam 3 hari ini akan menjadi bekal yang akan kami ingat sepanjang hidup kami.
Tiba-tiba pikiranku kembali ke pagi ini, saat ini, dengan secangkir teh yang mulai mendingin karena lamunanku yang begitu panjang. Sambil melihat daun teh yang tersisa di cangkir, aku sedikit tersenyum pahit sambil berpikir dalam hati, “ Lima ratus rupiah? Untuk perjuangan membawa daun teh ini sampai ke gelas kita dan kita nikmati dengan mudahnya. Jadi ayo kita sama-sama menghargai hal-hal kecil. Bahkan daun teh dan biji kopi yang akhirnya singgah di gelas kalian mengalami perjalanan yang begitu panjang, dari mulai hasil keringat pemetik teh di pagi yang dingin, buruh pabrik yang menjalankan mesin untuk mengolah teh dan mengemasnya, serta toko retail yang akhirnya memajang teh di gerainya sampai ke tangan kalian. Bahkan sebelum kita menikmati berbagai minuman kafe dengan logo hijau, biji kopi coklat dan logo lainnya, hargailah asal usul minumannya terlebih dahulu. Memang kita mampu untuk membeli 1 cup kopi atau teh dengan harga yang premium dengan berbagai kebanggan merk dan fasilitas tempat nongkrongnya, tapi hargailah asal usul minumannya terlebih dahulu. Pesan apa yang bisa kita habiskan, berhenti membuang makanan atau minuman. Setiap menikmati kopi dan teh di rumah atau di kafe, hargailah para petani dengan menghabiskannya dan bukan dibuang begitu saja.
Mulailah untuk lebih menghargai apa yang kita punya. Makanan, minuman, barang atau produk di depan kita, pesan hanya apa yang kalian sanggup habiskan, habiskan yang kalian pesan dan ambil di piring, ataupun bungkus dengan kotak bekal kita untuk makanan atau minuman yang tidak bisa kalian habiskan saat itu. Pandemi ini mengajarkan kita untuk berhenti mengoleksi barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan, membeli produk dalam ukuran secukupnya supaya tidak keburu kadaluarsa dan dibuang begitu saja dan mengajarkan kita juga untuk lebih berhemat dan menghargai hal-hal kecil di sekitar kita. Kita sadar dengan adanya situasi yang tidak menyenangkan ini bahwa kita bisa hebat bukan karena diri kita sendiri, tapi karena kita juga membutuhkan orang lain.